Rabu, 20 Mei 2015

Teryata ada hubungan antara sarapan dengan kemampuan konsentrasi pada anak

Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan (Judarwanto , 2008)
Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto, 2008)
Sarapan atau makan pagi adalah menu makanan pertama yang dikonsumsi seseorang. Biasanya orang makan malam sekitar pukul 19:00 dan baru makan lagi paginya sekitar pukul 06:00. Berarti selama sekitar 10-12 jam mereka puasa. Dengan adanya puasa itu, cadangan gula darah (glukosa) dalam tubuh seseorang hanya cukup untuk aktivitas dua sampai tiga jam di pagi hari. Tanpa sarapan seseorang akan mengalami hipoglikemia atau kadar glukosa di bawah normal. Hipoglikemia mengakibatkan tubuh gemetaran, pusing dan sakit berkonsentrasi. Itu semua karena kekurangan glukosa yang merupakan sumber energi bagi otak (Wiharyanti, 2006)
Studi mengenai sarapan yang dilakukan di IPB oleh Faridi, Madonijah dan Latifah menunjukkan bahwa 46,3 % anak di beberapa SD di Duren Sawit Jakarta Timur selalu sarapan, 41,3% kadang-kadang sarapan dan sisanya 12,4% tidak pernah sarapan. Presentase anak Hipoglikemi diukur pada pukul 09:00 relatif rendah (55%) dibandingkan anak yang tidak sarapan (73%) (Wiharyanti, 2006)
Berdasarkan penelitian “Breakfast Reduces Declines in Attention and Memory Over The Morning in SchoolChildren” yang dilakukan oleh K.A. Wesnes. C. Pincock, D. Richardson, G Helm, Shails ahli Gizi Inggris tahun 2003 dengan Metode Random pada 29 anak, tentang tingkat perhatian dan kemampuan daya ingat pada 30, 90, 150, 210 menit setelah sarapan dalam empat hari didapatkan hasil : Anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu. Di sisi lain, anak yang mendapat sereal meski mengalami penurunan daya konsentrasi namun tidak signifikan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa menu sarapan pagi yang mengandung karbohidrat kompleks memberikan pengaruh positif bagi anak dalam mempertahankan kemampuan konsentrasi belajar dan mengingat di sekolah. (Wiharyanti, 2006)
Bagi anak sekolah, meninggalkan sarapan membawa dampak yang kurang menguntungkan. Konsentrasi di kelas biasa buyar karena tubuh tidak memperoleh masukan gizi yang cukup. Sebagai gantinya, anak jajan di sekolah untuk sekadar mengganjal perut. Tetapi mutu dan keseimbangan gizi jadi tidak seimbang. Oleh karena itu kebiasaan sarapan hendaknya dipertahankan dalam setiap keluarga ( Khosman, 2002 dalam Mardiah, 2005).
Kebiasaan makan pagi termasuk ke dalam salah satu 13 pesan dasar gizi seimbang. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran sehingga meningkatkan prestasi belajar (Depkes, 2002). Penelitian Sri Desfita, 2008 menemukan 41,7% subjek jarang makan pagi. Hal ini banyak disebabkan karena subjek tidak memiliki cukup waktu untuk makan pagi.
Terdapat beberapa alasan untuk tidak makan pagi seperti tidak lapar, tidak ada waktu, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak suka makanan yang disiapkan, makanan tidak ada dan sebagainya (Muhilal & Damayanti, 2006). Penelitian Kurniasari, 2005 di Yogyakarta menunjukkan 25% anak SD jarang makan pagi dengan alasan tidak sempat, tidak terbiasa dan tidak selera. Berdasarkan laporan BPS Kabupaten Majalengka (2006), hanya 15,2% anak SD yang mempunyai kebiasaan makan pagi. Pada umumnya anak sudah diberi uang jajan sementara makanan yang dijajakan di sekolah kurang terjamin kandungan gizinya (Wiyono, 2008)
Makan pagi dapat menyumbang seperempat dari kebutuhan gizi sehari yaitu sekitar 450-500 kalori dengan 8-9 gram protein. Selain kandungan gizinya cukup, bentuk makan pagi sebaiknya juga disukai anak-anak dan praktis pembuatannya (Muhilal & Damayanti, 2006).
Kebiasaan makan pagi dapat berkontribusi terhadap status gizi anak. Anak yang biasa makan pagi akan dapat memenuhi kebutuhan gizinya dalam sehari. Penelitian Irawati (2000) menemukan anak yang tidak biasa makan pagi berisiko terhadap status gizi kurang (Wiyono, 2008)
Kekurangan gizi menyebabkan anak mudah lelah, tidak kuat melakukan aktivitas fisik yang lama, tidak mampu berpikir dan berpartisipasi penuh dalam proses belajar. Risiko untuk menderita penyakit infeksi lebih besar pada anak yang kurang gizi, sehingga tingkat kehadirannya rendah di sekolah (Muhilal & Damayanti, 2006).
Hasil analisis data dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2005) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan gizi kurang pada anak usia sekolah yaitu pada Tahun 2004 dan Tahun 2005. Tahun 2004, dari 17.835 anak usia sekolah ditemukan sebanyak 435 anak usia sekolah berstatus gizi buruk dan 7.400 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar 10.000 orang anak. dibandingkan dengan Tahun 2004, angka anak usia sekolah gizi kurang mengalami peningkatan, Tahun 2005 dari 16. 076 anak usia sekolah yang mempunyai status gizi buruk yaitu 476 anak, 7.600 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar 8.000 orang anak (Arisman, 2006).
Secara Nasional prevalensi Status gizi penduduk umur 6-14 tahun (usia sekolah) untuk kategori kurus adalah 13,3% pada laki-laki dan 10,9% pada perempuan. Sedangkan prevalensi BB lebih pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%. Provinsi Sulawesi Selatan prevalensi Kurus baik pada Laki-laki maupun perempuan lebih tinggi dari angka nasional yaitu 15.5% dan 13.4%. (Riskesdas Sul-Sel, 2007).
Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF 1998 dalam Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, 2005). Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendek dari tahun ke tahun maka prevalensi anak pendek ini praktis tidak mengalami perubahan oleh karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari 39,8% pada tahun 2002 menjadi 36,1% pada tahun 2004 (Depkes, 2004 dalam Pamularsih, 2009).
Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008 dalam Pamularsih, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar