Anak
usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi
penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas
anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia harus
dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan (Judarwanto ,
2008)
Tumbuh
kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi
dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh
kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak
selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah
terutama dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang.
Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ-organ dan
sistem tubuh anak (Judarwanto, 2008)
Sarapan
atau makan pagi adalah menu makanan pertama yang dikonsumsi seseorang.
Biasanya orang makan malam sekitar pukul 19:00 dan baru makan lagi
paginya sekitar pukul 06:00. Berarti selama sekitar 10-12 jam mereka
puasa. Dengan adanya puasa itu, cadangan gula darah (glukosa) dalam
tubuh seseorang hanya cukup untuk aktivitas dua sampai tiga jam di pagi
hari. Tanpa sarapan seseorang akan mengalami hipoglikemia atau kadar
glukosa di bawah normal. Hipoglikemia mengakibatkan tubuh gemetaran,
pusing dan sakit berkonsentrasi. Itu semua karena kekurangan glukosa
yang merupakan sumber energi bagi otak (Wiharyanti, 2006)
Studi
mengenai sarapan yang dilakukan di IPB oleh Faridi, Madonijah dan
Latifah menunjukkan bahwa 46,3 % anak di beberapa SD di Duren Sawit
Jakarta Timur selalu sarapan, 41,3% kadang-kadang sarapan dan sisanya
12,4% tidak pernah sarapan. Presentase anak Hipoglikemi diukur pada
pukul 09:00 relatif rendah (55%) dibandingkan anak yang tidak sarapan
(73%) (Wiharyanti, 2006)
Berdasarkan penelitian “Breakfast Reduces Declines in Attention and Memory Over The Morning in SchoolChildren”
yang dilakukan oleh K.A. Wesnes. C. Pincock, D. Richardson, G Helm,
Shails ahli Gizi Inggris tahun 2003 dengan Metode Random pada 29 anak,
tentang tingkat perhatian dan kemampuan daya ingat pada 30, 90, 150, 210
menit setelah sarapan dalam empat hari didapatkan hasil : Anak yang
tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya
konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun
secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu. Di sisi lain, anak
yang mendapat sereal meski mengalami penurunan daya konsentrasi
namun tidak signifikan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa
menu sarapan pagi yang mengandung karbohidrat kompleks memberikan
pengaruh positif bagi anak dalam mempertahankan kemampuan konsentrasi
belajar dan mengingat di sekolah. (Wiharyanti, 2006)
Bagi
anak sekolah, meninggalkan sarapan membawa dampak yang kurang
menguntungkan. Konsentrasi di kelas biasa buyar karena tubuh tidak
memperoleh masukan gizi yang cukup. Sebagai gantinya, anak jajan di
sekolah untuk sekadar mengganjal perut. Tetapi mutu dan keseimbangan
gizi jadi tidak seimbang. Oleh karena itu kebiasaan sarapan hendaknya
dipertahankan dalam setiap keluarga ( Khosman, 2002 dalam Mardiah,
2005).
Kebiasaan
makan pagi termasuk ke dalam salah satu 13 pesan dasar gizi seimbang.
Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan
memudahkan menyerap pelajaran sehingga meningkatkan prestasi belajar
(Depkes, 2002). Penelitian Sri Desfita, 2008 menemukan 41,7% subjek
jarang makan pagi. Hal ini banyak disebabkan karena subjek tidak
memiliki cukup waktu untuk makan pagi.
Terdapat
beberapa alasan untuk tidak makan pagi seperti tidak lapar, tidak ada
waktu, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak suka makanan yang
disiapkan, makanan tidak ada dan sebagainya (Muhilal & Damayanti,
2006). Penelitian Kurniasari, 2005 di Yogyakarta menunjukkan 25% anak SD
jarang makan pagi dengan alasan tidak sempat, tidak terbiasa dan tidak
selera. Berdasarkan laporan BPS Kabupaten Majalengka (2006), hanya 15,2%
anak SD yang mempunyai kebiasaan makan pagi. Pada umumnya anak sudah
diberi uang jajan sementara makanan yang dijajakan di sekolah kurang
terjamin kandungan gizinya (Wiyono, 2008)
Makan
pagi dapat menyumbang seperempat dari kebutuhan gizi sehari yaitu
sekitar 450-500 kalori dengan 8-9 gram protein. Selain kandungan gizinya
cukup, bentuk makan pagi sebaiknya juga disukai anak-anak dan praktis
pembuatannya (Muhilal & Damayanti, 2006).
Kebiasaan
makan pagi dapat berkontribusi terhadap status gizi anak. Anak yang
biasa makan pagi akan dapat memenuhi kebutuhan gizinya dalam sehari.
Penelitian Irawati (2000) menemukan anak yang tidak biasa makan pagi
berisiko terhadap status gizi kurang (Wiyono, 2008)
Kekurangan
gizi menyebabkan anak mudah lelah, tidak kuat melakukan aktivitas fisik
yang lama, tidak mampu berpikir dan berpartisipasi penuh dalam proses
belajar. Risiko untuk menderita penyakit infeksi lebih besar pada anak
yang kurang gizi, sehingga tingkat kehadirannya rendah di sekolah
(Muhilal & Damayanti, 2006).
Hasil
analisis data dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2005)
menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan gizi kurang pada anak usia
sekolah yaitu pada Tahun 2004 dan Tahun 2005. Tahun 2004, dari 17.835
anak usia sekolah ditemukan sebanyak 435 anak usia sekolah berstatus
gizi buruk dan 7.400 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang
status gizinya baik hanya sekitar 10.000 orang anak. dibandingkan dengan
Tahun 2004, angka anak usia sekolah gizi kurang mengalami peningkatan,
Tahun 2005 dari 16. 076 anak usia sekolah yang mempunyai status gizi buruk yaitu 476 anak, 7.600 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar 8.000 orang anak (Arisman, 2006).
Secara
Nasional prevalensi Status gizi penduduk umur 6-14 tahun (usia sekolah)
untuk kategori kurus adalah 13,3% pada laki-laki dan 10,9% pada
perempuan. Sedangkan prevalensi BB lebih pada laki-laki 9,5% dan
perempuan 6,4%. Provinsi Sulawesi Selatan prevalensi Kurus baik pada
Laki-laki maupun perempuan lebih tinggi dari angka nasional yaitu 15.5%
dan 13.4%. (Riskesdas Sul-Sel, 2007).
Anak
yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11
point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted
(UNICEF 1998 dalam Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap
Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, 2005). Lebih dari sepertiga
(36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki
usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis.
Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur
dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan. Jika
diamati perubahan prevalensi anak pendek dari tahun ke tahun maka
prevalensi anak pendek ini praktis tidak mengalami perubahan oleh karena
perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari 39,8% pada tahun
2002 menjadi 36,1% pada tahun 2004 (Depkes, 2004 dalam Pamularsih,
2009).
Pengaruh
makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak cukup
mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung
lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat
terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat
dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu,
badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel
dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan
organisasi biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap
perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008 dalam Pamularsih, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar