PENDIDIKAN NILAI
A. Definisi Pendidikan Nilai
Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27)
menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan
pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective
component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the
consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan
nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau
transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi
niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran
nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma
(moral control). Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas
tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi,
yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and
rational inquiry into the core, and decision making related to the core based
on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa
Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut
pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu
menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika
yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi.
B. Tujuan Pendidikan Nilai
Adapun tujuan Pendidikan Nilai
menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam
mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka
dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya.
Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar
siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya,
konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga
menjadi karakter pribadinya.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Dalam proses Pendidikan Nilai,
tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai
tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The
Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai
secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak,
(b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c)
membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian
tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari
usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai
(UNESCO, 1994). Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu
ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis
Pendidikan Nilai.
1.Dasar Ontologis
Pendidikan Nilai
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman
panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil
Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya
di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia
sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual
dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2.
Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai
Dasar
epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai
memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan
studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada
pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena
pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
3.
Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai
Kemanfaatan
teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan
Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas
yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai
pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan
Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai
memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun
harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar